Sabtu, 27 Agustus 2011

The Kiss


“Kapan lo dapet ciuman pertama?” pertanyaan itu dihunjamkan temanku setelah kepala botol yang diputar dalam permainan TRUTH OR DARE itu mengarah padaku.

Menatap kelima wajah temanku, kemudian aku menjawab, “Gue belum pernah ciuman.” Dan mereka tertawa. Tawa yang terbuat dari campuran ironi dan ketidakpercayaan.

“Ciuman tuh asik dan menyenangkan lho!” komentar temanku. “Pacaran tanpa ciuman tuh kayak sayur tanpa garam.”

“Tapi buat gue, itu terdengar sangat menjijikan! Ciuman itu ketika bibir bertemu bibir; lidah beradu lidah; ludah bercampur ludah. Dan lo nggak bisa mastiin apakah mulut pasangan lo itu berada dalam kondisi steril atau berkuman. Ih, menjijikan deh!” dan lagi-lagi mereka tertawa. Tawa yang terbuat dari campuran ironi dan ketidakpercayaan. Tapi aku tak perduli.

“Pantes aja lo diputusin mulu!” ejek salah satu temanku.

Hm, ya, mungkin benar. Beberapa pacar terdahuluku menjadikan keenggananku berciuman sebagai alasan untuk meninggalkanku. Mereka bilang, aku tak benar-benar mencintai mereka. Hell, picik sekali! Bagaimana bisa cinta yang sakral disebandingkan dengan ciuman yang brutal.

Dan kurasa, itu hanyalah soal proses seleksi alam. Jika kau paham.

***

Waktu terus berjalan, dan bibirku masih perawan. Sementara telingaku semakin panas sebab godaan-godaan tentang ciuman itu terus berdatangan dari mulut teman-temanku. Segala kisah pernah kudengar, dari mulai ciuman yang standar sampai ciuman yang menurut mereka sangat fantastis dan penuh kenikmatan. Ya ampun, aku jadi kelihatan lebih tolol dari Drew Barymoore di film Never Been Kissed.

Sampai akhirnya, aku bertemu dengan Kamu . . .

Malam itu aku menghindari ciumanmu. Kamu tampak kesal dan kudengar mulutmu mendesis, “Kamu nggak bener-bener sayang sama aku.”

Kupikir, ujung hubungan kita sedang terukir saat itu juga. Takdir cintaku selalu berakhir seujung bibir. Tetapi Kamu lain. Beberapa hari setelahnya Kamu bilang, Kamu sangat menghargai prinsipku.

Ya, bagaimana pun keadaannya, asalkan dengan Kamu, bahagiaku sudah tercukupi. Bagian terpenting dari sebuah hubungan adalah jalinan komunikasi. Kontak fisik hanya embel-embel komplementer. Dan bagiku, berpegangan tangan dan berpelukan sudah lebih dari cukup.

“Kamu tahu, kenapa Rudi Soedjarwo membuat adegan ciuman antara Cinta dan Rangga di bandara?” suatu ketika Kamu bertanya.

Dengan santai aku menjawab, “Tuntutan skenario. Atau, bisa jadi itu trik biar filmnya laris.”

“Hei, tanpa adegan ciuman itu, AAdC sudah jadi salah satu film penting dalam dunia sinematografi Indonesia. Beda dong sama ciuman dan adegan mesum di film-film horor Indonesia.”

“Lalu, menurutmu, kenapa Cinta harus ciuman sama Rangga?” aku balik bertanya.

“Menurutku, itu klimaks cerita. Substansi yang menyempurnakan esensi kisah percintaannya itu sendiri. Ketika ungkapan kata-kata dan sekadar pelukan tak cukup kuat untuk menyatakan maksud perasaan, ciuman bukanlah sesuatu yang salah atau menjijikan untuk dilakukan. Ciuman tidak melulu soal nafsu birahi. Ciuman adalah ekspresi. Luapan perasaan kasih dan sayang,” paparmu panjang lebar.

“Oke, aku paham. Tapi masalahnya nggak semua orang bener-bener bisa memegang idealisme itu ketika berciuman. Alih-alih sekadar meluapkan perasaan kasih dan sayang, yang ada malah jadi ajang mengumbar syahwat. Tangan meraba-raba ke mana-mana. Dan ketika nafsu terpancing kemudian memuncak di ubun-ubun kepala, kedua sejoli pun kleyengan dan lupa daratan. Dari bibir turun ke leher, dada, perut, paha sampai selangkangan. Esensi bercinta pun jadi bias ke arah aktivitas seksual.”

Kamu tertawa. “Ya ampun… tinggi sekali imajinasimu, sayang… hahaha…”

“Memang benar, kan? Itulah kenapa aku menjaga diri dari hal itu.”

“Kamu cuma terlalu berlebihan,” katamu dengan nada serius. “Perlu kamu tahu, aku adalah orang yang masih memegang idealisme itu. Aku hanya mencium seseorang yang benar-benar aku sayang. Dan itu pun kulakukan di momen-momen spesial, di saat yang benar-benar tepat. Dan aku hanya melibatkan sebagian kecil dari naluri manusiawiku, selebihnya aku mencium pasanganku dengan segenap rasa cinta, kasih dan sayang. Aku tak pernah berniat ‘merusak’ pasanganku, melainkan benar-benar menjaganya sepenuh hatiku. Dan perlu kamu catat, bagiku, ciuman adalah sesuatu yang sakral.”

Sebagian dari diriku ingin menyangkal. Sebagian lagi berusaha untuk percaya pada apa yang Kamu katakan. Terlebih, aku benar-benar sudah terlanjur sayang. Dan dari waktu ke waktu pun, ujian demi ujian yang kuberikan padamu, Kamu lalui dengan sangat baik.

Oke, Kamu lulus.

Malam itu, malam Minggu kesekian yang pernah kita lalui dalam hubungan kita. Kamu mengajakku pergi ke sebuah bukit yang orang-orang bilang sebagai Bukit Bintang, salah satu bukit di kawasan Bandung Utara yang setiap malamnya menyuguhkan pemandangan terbaik kota Bandung yang diatapi langit berkelap-kelip bintang. Kita duduk bersisian sambil menikmati pemandangan dan udara dingin yang menyegarkan. Aku larut dan hanyut dalam pembicaraanmu mengenai asteroid, galaksi, konstelasi, rasi bintang, andromeda, supernova hingga mitos bintang jatuh. Kamu seolah profesor perbintangan paling menawan dan menakjubkan di dunia.

Dan pada saat itu, wajahmu mengedarkan medan magnetik ke udara. Ketika Kamu menoleh padaku kemudian melepaskan tatapan yang dalam, wajahku bergerak perlahan. Dan aku tak dapat mengelak lagi ketika bibirmu berhasil menemukan bibirku dan memagutnya secara pasti. Kamu benar, sensasi rasa berciuman lebih membius daripada sekadar berpegangan tangan dan berpelukan. Aku tak mau kehilangan rasa hangat dan nikmat yang semakin lama semakin memuncak. Tidak ada birahi. Tidak ada rasa jijik. Aku merasa perasaanku terhadapmu semakin kuat.

***

Akhirnya, aku tidak perlu lagi merasa minder jika teman-temanku bertanya, “Kapan lo dapet ciuman pertama?”. Meskipun lagi-lagi mereka menertawakanku dengan bilang bahwa akhirnya aku menyerah atas prinsip konservatifku, dan ada yang bilang aku menjilat ludahku sendiri. Tapi satu hal yang tegas kukatakan pada mereka, bahwa aku tidak membiarkan nafsu mendominasi diriku saat tengah berciuman. Dan kukatakan ulang kata-kata yang pernah Kamu katakan soal Cinta-Rangga itu.

Aku hendak memposting sebuah catatan tentang metamorfosis perasaan dan pandanganku mengenai ciuman di akun facebook-ku sore itu, ketika kulihat salah seorang temanmu mengirimkan foto-foto yang ditandai atas nama Kamu.

Aku lantas meluncur, melihat aksi-aksi Kamu dan teman-temanmu dalam foto-foto itu. Foto gila-gilaan yang biasa dilakukan siapa pun dengan teman-teman atau sahabat dekatnya. Kecuali satu foto yang membuatku meradang. Satu foto, di mana tampak jelas ada Kamu dan seseorang dalam pose sedang berciuman.

Aku terdiam. Mataku tak bisa lepas memandangi kalian yang sedang berciuman.

Semua kalimat sakti yang Kamu ucapkan soal Cinta-Rangga, esensi percintaan, ekspresi kasih sayang, dan buih-buih lainnya membentuk badai dalam kepalaku, dalam dadaku.

“Aku hanya mencium seseorang yang benar-benar aku sayang. Dan itu pun kulakukan di momen-momen spesial…” yang pernah kamu bilang padaku, menjadi amunisi paling sempurna meluluhlantakkan segalanya.

Baiklah, aku tak butuh penjelasan. Foto memang bisa dimanipulasi, namun kata-kata dari mulutmu jauh lebih manipulatif dan hipokrit.

Dan kurasa, ini hanyalah soal proses seleksi alam. Jika kau paham.***


sumber klik disini





0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 AsriePoenya
Theme by Yusuf Fikri